Karya Sastra 2024

 Cerita Pendek



𓂃✩ ♬ ₊.⋆☾⋆⁺𝙀𝙥𝙞𝙨𝙤𝙙𝙚 1₊✧࣪𓏲ּ ᭡ ₊ ⊹ ˑ ִֶ 𓂃


Cahaya hangat mentari pagi perlahan masuk melalui jendela-jendela kendaraan roda empat yang kunaiki. Hujan yang singgah semalam, berhasil membuat udara ibu kota pagi ini tidak terlalu buruk dari hari kemarin. Sejak dua hari yang lalu aku tiba di ibu kota, baru hari ini aku keluar dari rumah atau lebih tepatnya untuk ke sekolah baruku. 


Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, akhirnya aku sampai di depan bangunan besar yang begitu megah. Mataku seolah terpana dengan keindahan bangunan sekolah ini, benar-benar sangat jauh berbeda dengan sekolahku yang ada di desa. Awalnya aku mengira ini adalah awal yang baik namun, nyatanya aku salah. 


"Lyn, ayok ke ruang kepala sekolah dulu," ajak Ayahku. 


Aku mengangguk lalu berjalan di belakang ayah, perasaan gembira menyelimuti rongga hatiku. 


"Hallo Ezlyn! Selamat bergabung di Cakra High School," sapa kepala sekolah.

 

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, entah mengapa tiba-tiba aku merasa malu. "Nanti kamu ke kelas 12 MIPA 2, itu kelas baru kamu. Kelasnya ada di lantai 3, di pojok kanan." 


Setelahnya aku mencari keberadaan kelas itu, sendirian.

Aku menaiki banyak anak tangga untuk bisa sampai ke lantai tiga. Tadinya aku disuruh menaiki benda kotak besi itu, tapi aku terlalu takut. Sampailah aku di lantai dua, mataku dengan lincah melirik kesana kemari, mencari di mana letak tangga selanjutnya. Aku menemukannya, namun, baru beberapa langkah aku maju, hudungku mencium bau wangi. 


Wangi bunga melati yang sangat menyengat. Seketika buluku meremang, aku menoleh ke arah kiri dan ternyata aku berada di depan sebuah laboratorium. Mungkin ini bau yang disebabkan oleh anak-anak yang sedang praktik di dalam. Tapi, praktik apa yang menyebabkan bau bunga melati? Ah, sudahlah. Aku baru maju satu langkah dan ajaib, bau itu hilang.


Dengan rasa penasaran dan sedikit ragu, aku memberanikan diri untuk kembali ke tempat tadi. Aku melangkah mundur dan mataku terbelalak, bau itu masih ada. Segera aku bawa langkahku dengan tergesa-gesa untuk menuju lantai selanjutnya, aku tau itu bukan wangi dari laboratorium. 


Nafasku mulai terengah-engah, detak jantungku berirama lebih cepat, hampir bernafas lega tapi tidak jadi. Lorong lantai tiga ternyata lebih sepi. Jika di lantai dua tadi ada beberapa murid yang berkeliaran, di lantai tiga tidak ada satu pun. 


"Permisi." Aku mengetuk pintu saat sampai di depan kelas dan seketika semua mata terjuru padaku, termasuk guru yang sedang mengajar. 


"Oh, murid baru ya? Masuk aja nak," kata Ibu guru.


Aku masuk dan memperkenalkan diri, tidak ada yang aneh, mereka menyapaku dengan gembira.

 

"Kenalin, gue Ella." Gadis yang duduk satu bangku denganku itu mengulurkan tangannya. 


"Aku Ezlyn, panggil aja Lyn."


Suara nyaring bel sekolah mulai terdengar di setiap sudut ruang kelas. Para siswa berbondong-bondong mengisi perutnya. 


"Mau ke kantin enggak, Lyn?" tanya Ella.


"Boleh, ayok." Aku dan Ella turun ke lantai bawah, karena di lantai atas tidak ada kantin. 


"Gue ajak lo keliling sekolah habis beli makanan, gimana?" tawaran Ella membuatku menggeleng tak mau. 


"Sekolahnya besar banget El, cape kalau semuanya di kelilingin." 


"Iyasih, yaudah ke kelas aja." Sesuai yang dikatakan tadi, aku dan Ella kini berada di kelas. Hanya ada empat orang saja, sisanya masih berada di luar kelas. 


"Mereka gak bawa bekal atau makan di kelas gitu, El? Sepi banget," celetuk Lyn.


Ella menatapku sejenak lalu berkata, "Mereka selalu makan di kantin dan mereka gak pernah bawa bekal. Ya, bisa dibilang gengsi."


Hari itu semuanya masih baik-baik saja, bahkan semuanya terasa menyenangkan. Sampai tidak terasa sudah 4 bulan aku bersekolah di sana. Keanehan pun mulai muncul dalam benakku, aku penasaran dengan bangku di pojok sana itu. 


Sejak beberapa hari yang lalu aku memperhatikannya, awalnya aku mengira pada saat itu mungkin si pemilik bangku tidak berangkat sekolah tetapi apakah selama ini? Akhirnya dengan rasa penasaran yang menggebu, aku bertanya kepada Ella.


"El, kursi yang di sana siapa pemiliknya? atau memang sengaja di kosongkan?" Aku berbisik takut Ibu guru mendengarnya. 


Ella menatapku dengan tatapan tak suka, "Sengaja di kosongkan. Lo jangan pernah tanya apapun tentang bangku itu dan ingat jangan pernah menyentuhnya atau memindahkannya."


"Kamu tahu enggak, awal masuk aku ingin duduk di bangku itu tau, soalnya enak di dekat tembok bisa menyender." 


Ella benar-benar tidak suka dengan ceritaku,  "Lo gak boleh duduk di sana. Sampai kapan pun," tegas Ella. 


Ezlyn mengerutkan keningnya, "Kenapa? Bukannya itu bangku biasa, ya? atau bangku itu sudah ada yang men–"


"GUE BILANG JANGAN TANYA, YA JANGAN!" 


Bukan hanya aku yang terkejut, melainkan seisi kelas pun ikut terkejut akibat bentakan Ella kepada ku.

 

"Ditya, kamu tukar tempat duduk dengan Ella dan Ella pindah ke tempat Ditya," perintah Ibu guru.

 

Aku bertambah bingung, mengapa Ibu guru tidak memarahi kami? tetapi justru menukar teman sebangku ku. Bukannya aku tidak suka melainkan mengapa ditukarnya harus dengan laki-laki? Entahlah. 


Waktu terus berlalu, awalnya aku mengira pertukaran tempat duduk hanya berlaku sehari itu saja namun ternyata ini sudah lewat tujuh hari, apakah Ella benar-benar semarah itu? 


Kelas pagi ini di mulai dengan pelajaran Bahasa Inggris, gurunya tidak masuk tetapi meninggalkan tugas yang begitu berat. Satu kelas harus menyiapkan sebuah drama bertema bebas yang akan ditampilkan dua minggu kemudian.


"Ada usulan buat drama kali ini?" Ditya- sang ketua kelas itu berdiri di depan kelas, menatap satu persatu teman-temannya.

 

"Bulying," usul Ella. 


Ditya mengangguk lalu menuliskannya di papan tulis, "Ada lagi?"


"Roro Jonggrang."


"Romeo dan Juliet."


Setelahnya tidak ada yang mengusulkan lagi, "Ini pilihannya, silahkan di voting melalui grup Whatsap." 


Ditya kembali ke tempat duduknya, dia melirik ke arahku.


"Lyn, lo pilih yang mana?" tanyanya. 


Aku mengedikkan bahu. "Gatau, aku bingung, semua usulnya bagus. Tapi dilihat dari segi persiapan lebih baik memilih yang sudah ada naskahnya." Jawabanku diangguki Ditya. 


"Benar, gue pilih Roro Jonggrang aja. Biasanya cerita legenda itu seru." Ditya segera memberikan suaranya di grup. Sebenarnya bebas memilih apa saja namun, aku ikut Ditya. 


Hasil vote menyatakan bahwa drama yang ditampilkan adalah drama Roro jonggrang. Seluruh siswa kelas memulai aksinya, mulai dari menggarap naskah lalu menulis bahan-bahan untuk membuat properti sampai menentukan para pemain. Aku sedikit bernafas lega karena mendapat peran sebagai dayang, dilihat dari naskahnya si tidak terlalu sulit. 


Setelah berdiskusi peran, aku dan teman-teman yang lain pergi ke salah satu ruangan khusus untuk berlatih tapi nahas, ruangan tersebut sudah ada yang menempati jadilah kami latihan di dalam kelas. Semua meja dan kursi di pinggirkan satu persatu, aku turut membantu. 


Semuanya selesai dan saatnya latihan, aku terus berlatih, menghafal, dan memperagakannya. Sampai indra penglihatanku terpaku pada bangku kosong itu lagi. Bangku yang membuat Ella marah kepadaku, bangku itu tetap di sana. Tidak bergeser sedikit pun padahal bangku yang lain di pinggirkan. 


Dengan rasa jengkel aku melangkah mendekati bangku itu, tapi belum sempat sampai di sana seseorang dengan cepat menarik tanganku. "Ditya," lontar Lyn kaget.


"Mau ngapain lo?" tanya Ditnya dingin. 


Lyn memutar bola matanya, "Bangku itu kenapa tidak di pindahkan? Mengganggu Dit."


"Terus, lo mau pindahin bangku itu?" Pertanyaan Ditra sontak membuatku mengangguk, "Iyalah." 


"Lo batu banget, nurut kata Ella apa susahnya sih. Bangku itu gak boleh di apa-apain. Digeser satu senti pun gak boleh," tekan Ditya.


Aku semakin dibuat penasaran, berbagai pertanyaan muncul di dalam benakku. Apa spesialnya bangku itu? sampai-sampai tidak boleh di ganggu.


"Kenapa? Setiap aku bertanya entah itu ke teman kelas ini atau kelas yang lain mereka seolah menutupi, mereka selalu menjawab gatau, gatau dan gatau! Kalian tidak memberi pernyataan yang jelas! Ini sebenarnya ada apa? Ada kejadian apa di bangku itu, Ditya? Bangku itu milik siapa?" cecarku.


Ditya langsung menarik tangaku keluar kelas, aku harus berlari untuk mensejajarkan langkah kecilku dengan langkah besar Ditya. Semua orang menatap kami, jelas saja, dia membawaku melewati lapangan basket yang begitu ramai.


"Duduk," titah Ditya.

 

Kini mereka duduk diatas rumput hijau tepatnya di taman sekolah Cakra High School, biasanya taman ini digunakan untuk para murid yang suka membaca buku, karena suasanya begitu tenang. 


"Semua pertanyaan lo yang tadi itu gue jawab disini." 


˙˚✧ 𝙨𝙖𝙢𝙥𝙖𝙞 𝙟𝙪𝙢𝙥𝙖 𝙙𝙞 𝙚𝙥𝙞𝙨𝙤𝙙𝙚 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙣𝙟𝙪𝙩𝙣𝙮𝙖! ˖°📷 ༘ ⋆


𓂃✩ ♬ ₊.⋆☾⋆⁺𝙀𝙥𝙞𝙨𝙤𝙙𝙚 2₊✧࣪𓏲ּ ᭡ ₊ ⊹ ˑ ִֶ 𓂃


Satu tahun yang lalu.


"Kakak gue di mana...!" teriakan melengking Ella memenuhi koridor lantai tiga. 


Setelah dari perpustakaan, ia segera bergegas ke kelasnya karena mendapat kabar bahwa sang Kakak atau kembarannya itu mengalami kesurupan. 


"KENAPA PINTUNYA DI TUTUP!" marah Ella. "Lo semua ngunciin Fella sendirian di dalam, hah!"


Baik siswa maupun siswi yang berada di luar kelas tidak ada yang benari berbicara, mereka semua terlalu takut menceritakan kejadian yang terjadi di dalam.


"SIAPA YANG NGUNCIIN FELLA! SINIIN KUNCINYA!" pekik Ella. 


Dia terlihat sangat marah, tapi hal itu percuma, karena para siswa tidak ada yang membuka mulutnya untuk sekedar menjawab. Mereka memeluk satu sama lain, tercetak jelas raut ketakutan dari wajah mereka. Sampai akhirnya Ditya datang dengan seorang guru agama, panggil saja Pak Ardi. 


"Ditya, lo punya kunci kelas kan? Cepat buka," titah Ella.


"AAAAAAA!"


"Astagfirullahalazim."


Betapa terkejutnya mereka melihat kondisi Fella sekarang. Saat pintu ruang kelas itu di buka, bau anyir menyambut masuk ke dalam indra penciuman mereka. Di pojok sana, Fella duduk di bangku kosong itu, ia mengeluarkan banyak cairan kental bau amis berwarna merah dari mulutnya. Fella muntah darah. Ella yang melihat itu menangis tak tega, ia langsung masuk dan berniat mendekati Fella, namun, Ditya dengan sigap menahannya. 


"La, jangan kesana. Itu bukan Fella!" 


Ella menatap Ditya dengan air mata yang terus mengalir, "T-tapi Fella dalam bahaya, Dit."


"Pak, ini bagaimana?" tanya Ditya pada Pak Ardi. Pak Ardi paham maksud Ditya, segera dia masuk dan membaca do'a ruqyah serta memanggil anak-anak kelas untuk mengikuti apa yang ia baca.


"AAAAAAA," Fella berteriak. Matanya yang merah itu menatap tak suka ke arah kami.


"Pergi kalian dari sini! Jangan ganggu aku bermain dengannya!" Makhluk dalam diri Fella itu bicara.


"Keluar kamu dari tubuh anak itu, dia tidak bersalah!" Pak Ardi tidak mau kalah.


Dug dug dug


"FELLAAAA!" Ella kembali berteriak saat melihat Fella membenturkan kepalanya dengan keras ke dinding kelas, membuat kepalanya mengeluarkan darah segar.


"Anak ini menggangguku, dia menduduki bangku milikku! Aku tidak suka!" Makhluk dalam diri Fella berbicara kembali.


Pak Ardi terus bedo'a, mencoba mendekat pada Fella agar gadis itu segera sadar. Tetapi nahas, Pak Ardi justru terpental cukup jauh saat mencoba mendekati Fella. Pak Ardi dapat melihat energi makhluk yang cukup kuat, ini benar-benar di luar dugaannya.


"SUDAH KU BILANG JANGAN DEKATI ANAK INI! DIA AKAN JADI TEMANKU!" Amarah makhluk itu menggelegar ke sudut ruangan.


Kondisi tubuh Fella saat ini benar-benar memprihatinkan. Entah berapa banyak darah yang keluar dari tubuhnya, seragam putihnya kini berubah menjadi warna merah. Ella tak tahu harus melakukan apa. Akan tetapi, dia dibuat terkejut oleh sosok yang merasuki Fella, sosok itu menampakkan wujud aslinya. 


"Ditya, Dit, lo lihat dia kan?" tanya Ella sembari menggoyangkan tangan Ditya.


Ditya mengikuti arah pandang Ella, "Siapa? Fella? Iya gue liat, lo harus kuat lihat kondisi Fella yang memprihatinkan, El." Ditya mengelus pundak Ella.


Nafas Ella memburu, "Bukan Dit! It-itu..." Ella tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ia terlalu syok melihat siapa sosok itu.


Sosok perempuan berpakaian lengkap seragam sekolah dengan rambut panjang sepinggang, wajahnya hancur sebelah dengan darah yang mengalir membasahi sebagian seragam putih abunya. Jangan lupakan bola mata yang hampir lepas dari tempatnya membuat nafas Ella semakin tidak beraturan. Tetapi sebentar, sepertinya Ella mengenali sosok itu. 


"Nina, tolong lepaskan Kakak ku," lirih Ella. Ia mendekat perlahan ke arah Fella, ia dapat melihat raut penuh amarah dan tatapan kebencian dari pada makhluk itu. 


"Nina, aku minta maaf atas kesalahan Kakak ku. Dia tidak bermaksud mengganggumu belajar." Ella berusaha bernegosiasi.


Wwwuuuuuusshhh


Ella tersentak kaget, makhluk itu kini berpindah tepat di hadapannya. Semua itu di saksikan oleh seluruh penghuni kelas 12 MIPA 2, Fella terbang menghampiri Ella. Ini bukan syok lagi melainkan masuk kategori syok berat.


"Ella, aku butuh teman di sini. Kamu kan sudah tidak mau lagi berteman denganku," bisik makhluk itu.


Ella menggeleng, "Aku masih mau berteman dengamu, Nina! Tolong kembalikan Kakak ku." 


"TIDAK! AKU TIDAK MAU!" teriaknya. Walau Ella sudah membujuknya, makhluk itu tetap kekeh dengan keiginannya. Lalu setelahnya, tubuh Fella langsung berlari keluar kelas. Orang-orang yang berusaha mencegah atau bahkan menghalanginnya langsung terpental dan setelah itu, ia terjun dari lantai tiga. 


"FELLAAAA...!" 


***

Bertemu teman lalu menyapa di koridor sekolah mungkin sudah menjadi sebuah kebiasaan. Angin sepoi-sepoi berhembus menerpa wajahku. Setelah mendengar cerita Ditya tadi, pikiranku benar-benar dibuat pusing. 


Banyak hal yang menurutku tidak masuk akal. Cuma gara-gara bangku kosong itu orang bisa meninggal, mana dikaitkan cerita mistis lagi. Memangnya aku percaya? Dasar tukang mengarang cerita. 


Saat menaiki tangga lantai tiga, aku berpapasan dengan Ella yang hendak turun. "Ella, tunggu!" 


"Ella maafin aku, aku gak akan tanyain tentang bangku itu lagi, tolong maafin aku." Aku meraih tangan Ella dan meminta maaf dengan sepenuh sanubari. 


Terdengar helaan nafas dari bibir Ella. "Gue udah maafin lo, Lyn. Ditya udah ceritain semuanya kan? Mau lo percaya atau ngga cerita Ditya, itu hak lo. Tapi, jangan sampai lo lakuin hal bodoh seperti kembaran gue." Setelah mengatakan itu, Ella pergi, dia meninggalkan aku yang kebingungan. 


Aku kembali ke kelas, melanjutkan latihan drama hari ini. Hingga tak terasa beberapa jam sudah berlalu, nabastala perlahan berubah menjadi warna jingga, baskara pun perlahan mulai menenggelamkan dirinya. 


"Guys, lanjut besok lagi, kita pulang sekarang." Setelah mengatakan itu, Ditya melanjutkan pekerjaannya. Membantu yang lain membersihkan barang yang tidak terpakai dan menata kembali meja, kursi seperti semula.


"Akhirnya pulang juga," gumamku. 


Ditya mendekat ke arahku, "Lo pulang bareng gue, kan?" tawaran Ditya membuatku mengangguk mengiyakan. 


Seluruh anak kelas sudah pulang, hanya tersisa aku dan Ditya. Kami keluar paling terakhir dari kelas tetapi saat ingin menuruni tangga, aku merogoh kantong rok dan ternyata ada barang yang tertinggal.


"Ditya, sebentar! Dompetku tertinggal di kolong meja." Segera aku berlari dan masuk kembali ke kelas lalu mengambil dompet itu. Tetapi, lagi dan lagi bangku kosong itu membuatku salah fokus. Bukannya aku tidak percaya cerita Ditya tetapi rasa penasaranku dengan bangku itu jauh lebih besar. 


Posisi tempat duduk aku dengan bangku kosong itu tidaklah telalu jauh. Aku mengurungkan niat untuk keluar kelas. Aku putar langkah kakiku menghadap ke arah belakang. Lalu perlahan mendekat, melangkah dengan sedikit keberanian. Sampailah aku di depan bangku itu, tanpa ragu aku memegangnya. 


Wwuuuuuuuussshhh


Bulu kudukku meremang, keadaan kelas menjadi sunyi senyap. Aku memegang bangku itu, entah mengapa hawa kelas ini menjadi panas membuat keringat berjatuhan. Walau di landa ketakutan, aku tetap menggeser bangku itu, hanya sedikit. 


"Tidak berat, tidak ada apa-apa juga," kataku yang kemudian menggeser kembali kursi itu ke tempat semula. Aku tersenyum puas setelah melakukan itu dan berjalan keluar kelas.


Tetapi tiba-tiba pendengaranku di sapa oleh suara tangisan perempuan, tangisan perempuan yang sangat pilu. Aku panik, melirik kesana kemari tapi hanya aku yang ada di kelas ini. Keringat terus bercuruan di dahiku, suara tangisan itu semakin keras. 


Aku ingin berlari namun, kakiku terasa kaku. Jantungku berdetak lebih cepat, tubuhku gemetar saat merasakan tangaku seperti di pegang oleh seseorang. Tangan itu dingin. 


Aku benar-benar tidak berani menoleh kebelakang, aku harus bagaimana. Mataku mulai memanas, pandanganku sedikit kabur karena menahan cairan bening yang ingin keluar.


"AAAAAAAA!"


˙˚✧ 𝙨𝙖𝙢𝙥𝙖𝙞 𝙟𝙪𝙢𝙥𝙖 𝙙𝙞 𝙢𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙟𝙪𝙢'𝙖𝙩 >< °📷 ༘ 


𓂃✩ ♬ ₊.⋆☾⋆⁺𝙀𝙥𝙞𝙨𝙤𝙙𝙚 3₊✧࣪𓏲ּ ᭡ ₊ ⊹ ˑ ִֶ 𓂃


Kala mendengar teriakan tersebut, laki-laki dengan netra hitam kecoklatan itu langsung berlari masuk ke dalam kelasnya. Rasa khawatirnya terpancar begitu jelas, pikirannya cemas saat melihat Ezlyn yang tengah berjongkok di pojok sana. 


Ditya mendekat, "Ezlyn, lo kenapa?" tanyanya sembari memegang pundak gadis itu.


Ezlyn mendongak, kedua matanya terlihat sembab dan berair "Aku harus jawab apa? Kalau aku jujur, pasti Ditya akan membenciku," batinnya.


"Lyn? Lo baik-baik aja kan?" Ditya melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah Ezlyn.


Ezlyn tersadar, "I-itu tadi ada kecoak. Aku takut dengan hewan itu." Balasan Ezlyn membuat Ditya mengerutkan keningnya.


"Ayo, cepat kita pulang!" Ezlyn berdiri lalu menarik tangan Ditya agar segera keluar dari kelas.


Cantiknya lampu kota malam tak membuat Ditya langsung pulang ke rumah. Setelah mengantarkan Ezlyn, Ditya membelokkan setirnya untuk pergi ke rumah Ella, ada suatu hal yang mengganjal pikirannya.


"Ditya? Ngapain kesini?" Ella menatap Ditya heran.


Mereka berdua duduk di gazebo halaman depan, lalu Ditya berkata. "Gue punya firasat ngga enak tentang Lyn, El." 


Perkataan Ditya membuat Ella menaikkan satu alisnya, "Maksudnya?" 


Ditya menceritakan kejadian yang belum lama terjadi, "Lo tau Lyn gimana El. Dia satu dua sama Fella, gue takut dia gak dengerin omongan kita." Ditya menjeda kalimatnya, "Anak itu rasa penarannya tinggi banget, El."


"Gue juga belum sepenuhnya percaya dia, Dit. Tapi kita lihat besok, biasanya Nina kalau ada yang ngeganggu, dia pasti nampakin diri." Penjelasan Ella membuat Ditya menghela nafas berat.


"Lo suka sama Lyn ya, Dit? Perhatian banget," celetuk Ella.


Laki-laki dengan potongan curtain haircut itu seketika membeku, "Eh, udah lewat isya. Gue pulang dulu, El." Setelah mengatakan itu, Ditya bergegas naik ke kendaraan roda duanya dan meninggalkan pekarangan rumah Ella. Ella hanya tersenyum gemas melihatnya.


Satu, dua hari telah berlalu, setelah hari itu tidak ada yang mengganggu Ezlyn. Dirinya menjalankan latihan drama dengan lancar dan baik-baik saja. Suara bising dari dalam kelas cukup mengganggu. Para siswa saling beradu peran satu sama lain, mereka berusaha semaksimal mungkin agar drama yang mereka tampilkan nanti terlihat sempurna. 


Aku berjalan keluar dari toilet dengan bersenandung kecil, dari kelas aku melihat Ella yang berjalan keluar ke arahku.  


"Ella, kamu mau ke mana?" tanyaku. 


Ella tak menjawab, menoleh pun tidak. Dia melewati aku tanpa ekspresi apapun, seolah-olah dia tidak melihat keberadaanku. Wajahnya pucat pasi, apakah dia sakit? atau Ella masih marah kepadaku? Entahlah. Aku kembali melanjutkan langkah kecilku untuk masuk ke dalam kelas.


"Ezlyn!" panggil seseorang.


Aku berhenti dan melongok ke arah belakang, mataku terbelalak. "Lho, Ella." 


"Lo dicariin tu sama Ditya," tutur Ella yang kini berhadapan dengan Ezlyn.


Ezlyn masih mencerna apa yang baru saja terjadi, "L-lo dari mana, El?"


"Gue dari perpus, tadi kebetulan waktu gue mau naik ketemu Ditya di lift." Penjelasan Ella membuat jantung Ezlyn memompa darah lebih cepat.


Kalau Ella dari perpustakaan lalu yang tadi ia tegur itu siapa? Perawakannya benar-benar mirip Ella, bahkan wajahnya sama persis dengan Ella. Pikiran Ezlyn sudah tidak karuan, rasa pening, bingung, hingga takut semuanya bercampur jadi satu.


Aku meneguk air liur, "O-oh oke," kataku. Lalu segera aku bergegas masuk meninggalkan Ella di ambang pintu.


Rasa takut mulai mendominasi hatiku, rasanya aku sedang di permainkan. Mungkin ini efek kelelahan karena latihan terus-menerus. Awalnya aku berpikir seperti itu, namun nyatanya, hal itu tidak terjadi hari ini saja. Dua hari berturut-turut aku mengalami hal yang sama. Sebenarnya ini ada apa?


Hari ke enam setelah kejadian menarik kursi itu dan tiba saatnya yaitu besok, pementasan drama akan di tampilkan. Tepat malam ini adalah malam jum'at kliwon, aura sekolah berubah menjadi lebih mencekam terlebih jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Anak-anak kelas akan pulang lebih awal dari biasanya, terlihat jelas kini mereka sudah bersiap-siap menggendong tas masing-masing.


Ditya mendekat ke arah Ella, "Udah enam hari El. Lo lihat apa?" bisiknya.


"Enggak ad-" Ella tesentak. Bulu kuduk mulai meremang, suara lirih memasuki telinganua, suara itu menggema dari pojok ruangan. Ella segera memusatkan penglihatannya ke arah bangku kosong itu, namun, tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada makhluk yang biasanya ia lihat setiap hari.


"Ella," tegur Ditya. "Lo kenapa tiba-tiba diem?"


"Gapapa, Dit. Lo gak pulang sama Lyn?" Ella mengalihkan topik.


Ditya menggeleng, "Dia dijemput bokapnya. Gue duluan ya, El." 


Setelah Ditya keluar, Ella pun ikut keluar. Alisnya mengerut saat ia sampai di halte, ia melihat Lyn yang tengah berjongkok dengan menutup kedua telinganya. Ada apa dengannya? 


Ella mendekati Lyn, "Ezlyn." 


"AAAAA." 


"Lyn, ini gue Ella. Lo kenapa?" tanyanya khawatir.


Raut ketakutan tercetak jelas di wajah Lyn. Tubuhnya gemetar, bola matanya mengeluarkan cairan bening, pipi tembamnya basah, deru nafasnya terdengar tidak beraturan.


"L-lo b-beneran E-el-la kan," ucap Lyn terbata-bata.


Beberapa menit yang lalu.


Awalnya aku berniat pamit dengan Ditnya tapi, ternyata Ditya sedang asyik berbincang dengan Ella di sana, alhasil aku memutuskan untuk keluar kelas untuk pulang. Langit berubah menjadi jingga, pohon-pohon hanya terlihat seperti siluet. Tidak lupa aku mengabadikannya dalam ponselku.


Langkahku terhenti kala melewati kantin, di sana aku melihat Ella yang tersenyum hangat padaku tapi lagi-lagi wajahnya pucat pasi. Aku sempat terdiam beberapa saat lalu membalas senyum tersebut. Tapi dalam sekejap Ella berganti wujud.


Wajahnya jadi hancur sebelah dengan darah yang terus menetes. Bola mata yang hampir lepas dari kelopaknya hingga  kaki yang tak menapak di tanah. Aku lemas tidak kuat melihat ini, keringat dingin mulai bercucuran, otak pun tidak dapat mencerna apa yang terjadi. Nafasku sesak, kakiku yang kaku berusaha aku gerakan untuk lari dari sana.


"Lyn, lo apain bangku itu?" tanya Ella lembut.


"A-aku gak apa-apain." 


Ella menghela nafasnya, ia berusaha sabar. "Lyn, tolong jujur."


"El, kamu gak percaya aku?" 


"EZLYN! TOLONG JUJUR! KALAU LO BOHONG TERUS, LO BISA TEWAS!" meledak sudah amarah Ella. Ia lelah menghadapi Ezlyn yang terus berbohong, Ella tidak mau kejadian satu tahun lalu terulang lagi.


Ezlyn gemetar, "I-iya aku geser bangku itu, t-tapi cuma sedikit." 


"Lo di teror, Lyn." Pernyataan Ella membuat Lyn menatap tak percaya.  "Yang lo lihat di kantin itu kembaran gue dan makhluk itu, namanya Nina. Dia salah satu siswa di kelas kita, 12 MIPA 2." 


Lyn mengerutkan keningnya, "Maksudnya?" 


"Bisa di bilang Nina meninggal dalam keadaan yang mengenaskan. Ayahnya adalah donatur terbesar di sekolah ini tapi, baru beberapa bulan setelah MPLS Nina masuk sekolah, ayahnya ketahuan korupsi. Anak kelas gak ada yang ngebully dia, tapi hari itu dia datang ke sekolah dengan wajah yang merah dan melepuh, hanya sebelah. Semua orang takut untuk ngeliat wajah dia, bahkan ada yang jadiin dia bahan bully." Ella menjeda kalimatnya dan menghela nafas kasar.


"Dia diperlakukan kasar, dipukul, ditendang, di caci maki sampai yang paling parah dia di dorong sampai kepalanya bocor. Dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan loncat dari lantai tiga."


Ezlyn menerawang jauh ke depan, ia tidak bisa berkata apa-apa. Sampai ayahnya datang menjemputnya, ia masih diam membisu. Meninggalkan Ella yang tersenyum tipis sekali.


Mentari pagi mulai menyorot memasuki celah jendela. Hari ini adalah hari pentas drama di tampilkan, aku berjalan menuju kelas tetapi, baru sampai di ambang pintu, suasana kelas terlihat kacau balau. Ada yang berteriak, menangis, hingga tertawa sendiri.


"Ella, ini ada apa?" tanyaku yang berusaha tenang.


"INI SEMUA GARA-GARA LO, EZLYN!"


Ditya yang di sebelah Pak Ardy pun mendekat ke arah Ella. "Udah El, sekarang kita bantu Pak Ardy cari jalan keluarnya."


"Ditya, ini ada apa?" aku tidak menyerah, aku kembali bertanya pada Ditya.


Ditya memijat pangkal hidungnya, "Hampir setengah anak kelas kesurupan, Lyn."


Mataku melotot kaget, "Kenapa bisa?"


"SEMUANYA! IKUTI SAYA DAN KITA PERGI KE MASJID, SEMUANYA TANPA KECUALI!" teriakan Pak Ardy membuat seisi kelas bergegas pergi ke masjid. Rupanya, mereka yang kesurupan kini sudah tersadar kembali.


Di masjid mereka semua di ruqyah, termasuk Lyn. Beberapa do'a membuat beberapa orang mual dan muntah, ada juga yang menangis. Tapi anehnya, Lyn tidak merasakan itu. Sampai pada puncak do'a, tubuh Lyn tiba-tiba berdiri tegap. Tubuhnya melayang tinggi, membuat para siswa menepi ketakutan ke dinding. Teriakan melengking Ezlyn berdengung di telinga. Lyn tidak kehilangan kesadaran, di atas sana ia masih tersadar. 


Pranggg


Braaakkk


Tubuh Ezlyn menubruk cermin di dalam masjid, pecahan kristalnya berhamburan ke lantai. Ditya, Ella dan yang lain hanya bisa menjerit tertahan, mereka bisa merasakan sakit yang luar biasa melihat kondisi Ezlyn yang tergeletak lemas di lantai dengan cairan kental berwana merah yang mengalir. Dengan segera, Ezlyn di bawa ke rumah sakit, luka yang ia dapatkan tidak cukup parah namun, perlu beberapa hari untuk ia memulihkan tubuhnya. 


"Kenapa lo gak mau dengerin kata-kata gue, Lyn? Puas sekarang liat yang lain ikut kena imbasnya." Ella terus mengomel di dalam ruang rawat Lyn.


Lyn masih menangisi kondisinya, "A-aku minta maaf, El. Aku gak tahu akhirnya akan seperti ini. A-aku juga gak mau teman-teman yang lain ikut terseret juga," ujar Lyn tergagap-gagap.


"LO PEM-" belum sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Ditya datang dengan Pak Ardy.


"Lo yang paling bersalah di sini, El. Semua anak kelas sekarang tau kalau lo yang dorong Nina dari tangga. Itu semua ulah lo kan? Lo mau dia meninggal karena secara dia sodara tiri lo. Tapi sayangnya itu gak berhasil dan lo justru ngehasut Nina dengan kata-kata yang buat dia drop terus akhirnya dia bunuh diri." Ditya menjeda kalimatnya, "Lo juga yang nyiram air panas ke wajah Nina sampai wajahnya jadi melepuh." 


Ella menatap tajam ke arah Ditya, "Pembohong! Lo ngarang, Ditya!" sentak Ella tak terima.


"Pak Ardy saksinya, Ibu lo yang cerita semuanya." Ditya menghampiri brankar Lyn, "Dan semua tentang Nina yang dis ceritain ke lo, Lyn, itu semua palsu. Dia gak mau disalahin!"


Ezlyn bingung harus mempercayai yang mana hingga Pak Ardy angkat bicara. "Lyn, apa yang dikatakan Ditya itu benar. Ella benci dengan Nina." 


"El?"


"IYA GUE LAKUIN ITU SEMUA! DIA REBUT APA YANG GUE PUNYA, LYN! KELUARGA GUE HANCUR KARENA DIA!" 


Ezlyn tak tahu harus melakukan apa hingga, Pak Ardy berkata. "Lyn, kamu jangan terkejut karena nantinya makhluk itu- Nina, akan kerap berkunjung ke ragamu."


"S-sampai kapan? Apakah dia akan menyakitiku? Aku benar-benar minta maaf." Lyn tidak bisa berhenti menangis, ia menyesal apa yang telah ia perbuat.


"Sampai hari kelulusan tiba. Selama kamu tidak mengganggunya, membicarakannya dan memikirkannya, dia tidak akan menyakitimu. Jadilah anak yang lebih baik, Lyn." Jawaban Pak ardy membuat Lyn mengangguk, ia akan berusaha merubah sikapnya. Ia tidak akan menyebalkan lagi. 


"Gue selalu di sini, Lyn. Lo gak perlu cemas," cetus Ditya.


SELESAI


By Divisi Sastra Gen 10

~ S

Komentar

rahmaaa mengatakan…
AYOO LANJUTINNN PLISSS PENASARAN BGTT
Anonim mengatakan…
TOLONG JANGAN GANTUNG😭😭
Sarahfinaa mengatakan…
ga sabar kelanjutannya???? semoga cepat up yeah, semangattt!!!!
Anonim mengatakan…
SERU BANGET ASLI
Firararrarara mengatakan…
Keren bangeeettt GA BOONG
Anonim mengatakan…
cukup baju aja yang digantung readers jangan
Zakia N mengatakan…
lah gantung bgt anjr, lanjutin plssssssss
lixmey mengatakan…
kesel bangetttt sama karakternya, tapi seru
Anonim mengatakan…
si ezlyn ngeyel bgttttt
Anonim mengatakan…
SERU SIHHHH🥹
Anonim mengatakan…
kesel sama ezlyn, tapi serius ini ceritanya seru bangettt
Anonim mengatakan…
ini bnran hrs nunggu mlm jumat? tanggung bgt we😭
rahmaaa mengatakan…
KERENN BGTTTT PLOT TWIST BGT DAH

Postingan populer dari blog ini

NADRAN TRADISI CIREBON

Kegiatan In House Training (IHT)

Porseni 2022