CINTA DALAM HATI karya Sanima
Mengagumi tanpa
dicintai. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan diri ku saat ini.
Aku nirmala, saat ini aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan masih
dalam tahap semester tiga. “Tunas
Bangsa”. Itulah tempat dimana aku menimba ilmu, dan di situ pula aku
menemukan seseorang yang begitu lekat dihati.
“Lala!” Teriak seseorang yang
memaksa ku menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Nita melambaikan tangan dan
bergegas menghampiri ku yang sedang berjalan menuju kelas.
“Berangkat sendirian, mana Riko?”
Tanya Nita.
“Aduh pagi-pagi udah nanyain si Riko.
Dia masih di belakang nanti juga datang, tumben kamu berangkat pagi. Hahaha.”
Ledekku.
“Yah!..jahat kamu La ngeledekin aku
terus.” Timpal Nita.
Nita adalah
teman ku, dia juga duduk satu bangku dengan ku. Anaknya periang, polos dan
selalu bisa mencairkan suasana. Suasana di kelas mulai ramai, anak-anak sudah
berdatangan dan duduk manis di tempatnya masing-masing.
“La, kok aku di tinggal sih?” Tegur Riko
dengan muka yang kesal.
“Habis kamunya lama, terus berangkat
tanpa aku juga bisa kan.” Jawabku ketus.
“Haduh, kalian ini pagi-pagi udah
ribut. Bisa nggak sih sehari aja kalian nggak berantem, udah kaya anjing sama kucing
aja. Haha.” Tukas Nita.
“Apaan sih” Balasku dan Riko
berbarengan.
TEETT.
. . . bunyi bel tanda masuk memecahkan
pertikaianku dan Riko.
“Teman-teman Ibu Novi tidak bisa
masuk jadi kita di beri tugas untuk merangkum materi tentang simpulan. Ayo kita
semua sekarang ke perpus” Pintah Danu selaku ketua kelas.
“Yes, nggak ada
gurunya” Ujar Nita girang.
“Huuuu. . . dasar maunya nggak
belajar” Balasku.
“Kamu kan udah pinter la jadi nggak
perlu belajar lagi ya” Balasnya.
“Wahh. . mulai kambuh nih penyakit malesnya”
Timpalku.
“Sudah sudah cepet ke perpustakaan”
Pintah Riko yang sudah berada di depan pintu kelas
Aku dan anak-anak yang lainnya pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas dari Bu Novi. Di tengah perjalanan aku melihat Kak Dimas senior yang duduk di kelas XII IPA 1 sedang bermain basket. Orang yang selama ini selalu membuat hati ku bergetar ketika melihatnya, membuat aku terpana karena sikap dan kebaikannya dan membuat aku seperti orang yang bodoh ketika berhadapan dengannya.
Namun sayang
perasaan ini tak bisa ku ungkapkan padanya, karena aku tidak punya keberanian untuk mengatakan bahwa aku
mencintainya. Rasa itu hanya bisa ku pendam di relung hati ini dan tak tau
sampai kapan perasaan itu tersimpan rapat-rapat di hati.
“Eh La, ngeliatinnya nggak usah
segitunya kali sampai mau lepas tuh mata” Ledek Nita.
“Apaan sih, biasa aja juga” Jawab ku
tersipu malu.
“Haduh dasar cewek nggak bisa diam
kalau lihat cowok ganteng” Celoteh Riko seraya berlalu
“Ih ikut-ikutan aja” Balasku sinis.
Aku hanya bisa
melihatnya dari jauh, tanpa bisa menyentuh dan mendekatinya. Tapi walau seperti
itu, masih bisa memandangnya dengan leluasa saja itu sudah lebih dari cukup
untuk ku. Pelajaran demi pelajaran telah berlalu, waktu terasa begitu cepat
hingga tak terasa pembelajaran hari ini akan segera selesai. Jam menunjukkan
pukul 14.10 sebentar lagi bel pulang akan berbunyi.
TEETT. . bel
pun berbunyi. Anak-anak berkemas untuk pulang kerumah masing-masing.
“Ayo pulang La” Ajak Nita.
“Duluan aja ya, aku mau ke perpus
lagi tadi lupa mau minjem novel” Balasku.
“Heemm. . ya sudah aku duluan ya”
“Hati-hati di jalan ya”
Aku bergegas pergi ke
perpustakaan untuk meminjam novel, aku
pun mencari novel yang akan ku pinjam, tapi “BRUGG” karena terlalu fokus
mencari aku sampai tidak sadar bertabrakan dengan seseorang.
“Aduh, maaf saya tidak sengaja” Ucapku
seraya menundukkan kepala.
“Iya nggak apa-apa” Balas seseorang
itu. Seketika itu pula aku langsung menoleh dan tak ku sangka yang bertabrakan
dengan ku adalah Kak Dimas. Aku langsung diam mematung tidak bisa berkutik sama
sekali.
“Kamu nggak apa-apa” Tanyanya
khawatir.
“Oh, i..i..iya aku nggak apa-apa
Kak” Jawabku terbata.
“Kok gugup, kenapa?” Tanyanya lagi.
“Ng...Nggak apa-apa, maaf permisi” Balasku
seraya pergi meninggalkan kak Dimas yang masih berdiri kebingungan melihat
tingkahku.
Aku langsung
berlari dari perpus entah sampai kemana tapi ternyata aku sudah sampai di
halaman belakang sekolah.
“Huft!. . . Kenapa harus ketemu
seperti itu. Oh Tuhan ! aku tidak sangggup berhadapan dengannya” Tukasku seraya
duduk di ayunan.
“Habis ketemu hantu ya sampe
ketakutan gitu, hahaha” Ledek Riko yang sudah berdiri di belakang ku.
“Aduh! Kamu tuh hantunya datang
tiba-tiba ngagetin aja” Balasku.
“Hahaha, ketemu Dimas aja sampai
kaya orang gagu” Ledeknya lagi.
“Ih Riko apaan
sih” Gerutuku
“Ya kamunya setiap ketemu sama Dimas
sikapnya jadi aneh 180 derajat” Ungkap Riko.
“Terus kenapa? Masalah” Tantangku.
“Iya lah masalah banget” Balasnya
mulai kesal.
“Oh gitu! Sampai kapan pun kamu
tidak akan mengerti” Balasku berlalu mengakhiri pembicaraan dengannya.
“Aku mengerti dan sangat mengerti,
tapi kamu yang tidak mengerti tentang perasaan yang tidak akan pernah terwujud
itu La” Riko membatin
Siang yang
cerah berganti menjadi malam yang redup dan sunyi. Waktu terus berputar hingga
menggantikan sunyinya malam dengan pagi yang sejuk. Entah apa lagi yang akan
terjadi hari ini, hari-hari yang penuh dengan misteri tanpa ku tahu kejadian
apa lagi yang akan berlangsung.
“Woy! Pagi-pagi ngelamun” Gertak Nita
mengagetkan ku.
“Aduh, nggak usah kaya Riko deh
ngagetin aja” Balasku sedikit kesal.
“Loh, kamunya aja yang bengong.
Mikirin apa sih? Pasti Kak Dimas ya, haha” Godanya.
“Udah deh nggak usah godain aku
seperti itu”
“Nggak ada topik lain apa tiap hari Dimas
terus yang di omongin” Sambung Riko
“Terus kenapa, kamu cemburu?”
Celetuk Nita
“Kalau iya kenapa. Masalah ?” Jawab Riko
seraya berlalu dan duduk di bangkunya.
“La, tuh anak kenapa? Beneran?”
Tanya Nita bingung.
“Nggak tau lah paling juga cuma
ngawur aja” Jawabku sekenanya.
Aku keluar kelas melihat sekeliling sejenak, dari lantai dua lingkungan sekolah bisa terlihat di setiap sudutnya. Pandangan ku terhenti pada sosok yang sedang berdiri di sana. Seseorang yang dalam diamnya mampu membuat hati yang tenang ini menjadi bergemuruh, yang dalam geraknya mampu membuat bibir tak berhenti memuji dan setiap kata yang terucap dari bibirnya mampu meluluhkan hati ini.
Kenapa aku
harus terperangkap dalam cinta yang tak pernah bisa kudapatkan. Cinta dalam
hati ini benar-benar menyiksaku. Karena aku harus tetap tersenyum melihatnya bedekatan
dengan orang lain, aku harus tetap tersenyum ketika perhatianku tak di
hiraukannya dan aku pun harus tetap tersenyum menerima kenyataan bahwa perasaan
ini hanya sepihak belaka. Tak terasa air mata mengalir begitu saja, hingga
membuat mata ku basah. Tak ku sangka kak Dimas melihat ke arah ku, aku pun
segera mengalihkan pandangan ke yang lainnya. Ah. . masih sama lebih baik masuk
saja aku tidak akan sanggup berlama-lama dalam situasi ini.
“Kok galau sih La, ayo semangat”
Ujar Nita menyemangati.
“Nggak tau lah, jadi nggak konsen
belajarnya. Tersiksa sendiri” Balasku seraya menutup muka dengan kedua tanganku.
“La, kenapa kamu jadi lemah seperti
ini. Mana komitmen kamu yang ingin menunggu waktu itu saat kamu sudah punya
keberanian untuk mengungkapkannya” Titah Nita.
“Tapi kapan waktunya? Aku tidak tau
kapan keberanian itu akan ada dalam diriku, aku lelah dengan perasaan ini. Aku
tidak akan pernah bisa bersamanya,” Jelasku dan air mata pun tak bisa ku
bendung lagi.
“Lala,” Nita memelukku
“Haruskah aku selalu berpura-pura
baik-baik saja ketika melihatnya tertawa riang dengan wanita lain, haruskah aku
berpura-pura tak melihatnya ketika dia berjalan di hadapanku, haruskah aku menutup
telinga ketika perhatianku tak dihiraukannya. Haruskah aku berpura-pura
tersenyum padahal hati ini begitu sakit karena perasaan ini terhadapnya.” Isakku.
“Semua itu akan tetap kamu rasakan
jika perasaan itu tidak kamu ungkapkan kepadanya. Bagaimana dia tahu perasaanmu
kalau kamu hanya memendamnya dalam hati.. Ungkapkanlah, tak perlu kamu takut
dengan hasilnya yang terpenting kamu sudah mengungkapkan perasaan kamu sama dia,”
Jelas Riko menasehatiku.
Aku berpikir sejenak, semua saran dari meDimas aku renungkan. Apa yang meDimas katakan memang benar, bukan salah kak Dimas atau pun situasi tapi aku sendiri yang menyakiti diri sendiri memendam perasaan dan tak berani mengungkapkannya.
Hari
ini aku lalui waktu belajar dengan hati yang kacau, tak banyak yang ku lakukan
selain mengikuti pelajran demi pelajaran.
“Pulang yuk. La!” Ajak Nita.
“Aku ingin sendiri.” Balas ku seraya
pergi meninggalkan Nita.
“Tapi......” Cegah Nita.
“Sudah biarkan saja dia sendiri dulu.”
Sambung Riko yang coba mencegah Nita
Aku hanya berjalan menelusuri
koridor sekolah. Aku hanya tertunduk lemah, tetapi tiba-tiba aku menemukan
sepasang kaki. Aku pun coba melihatnya dan ternyata itu adalah kaki Kak Dimas.
Aku hanya terpaku melihatnya, tetapi apa ini? Tatapan itu, tatapan yang penuh
tanda tanya, tatapan matanya yang tak biasa, begitu dalam dan penuh perasaan.
Tolong Kak Dimas jangan tatap aku seperti itu, aku tidak ingin harapan ini
tumbuh semakin besar sedang jalan yang ku tempuh untuk bersama mu semakin sulit
ku rasakan.
“Kenapa?” Tanyanya mengagetkanku.
“Ti..tidak Kak!” Jawabku seraya
berlalu.
“Kenapa kamu selalu gugup bila
bertemu denganku.” Tanyanya membatin.
Aku langsung
bergegas pulang ke rumah, aku tidak sanggup lagi membendung air mata ini. .
“Assalamu’alaikum, Lala pulang.”
Ucap ku seraya membuka pintu rumah
“Wa’alaikumussalam, kok anak ibu
murung begitu. Kenapa sayang?” Balas ibu dengan pertanyaan yang membuat mataku
terasa panas.
“Ibu....” Rajuk ku seraya memeluk
ibu dan tak terasa air mata mengalir begitu deras.
“Aduh sayang kenapa nangis, ada
masalah apa?” Tanya ibu seraya membelai ku lembut.
“Hiks. . . hiks . . apa salah jika
Lala memendam perasaan untuk orang lain tapi Lala tidak berani mengungkapkannya,
Bu!” Jawabku terisak.
“Oh, putri ibu yang cantik ini
sedang dilema cinta toh?!” Goda ibu.
“Aaahhh, ibu! lala sangat tersiksa
bila bertemu dengan orang itu, semakin ditahan semakin sakit Lala rasakan.” Sambungku
lagi.
“Lala sayang, semua itu manusiawi
tidak ada yang salah dengan yang lala lakukan. Ibu paham betul apa yang lala
rasakan sekarang. Kenapa lala tidak berani mengungkapkannya karena kamu memang
belum saatnya untuk menungkapkan itu semua. Ingat anak ku ! jikalau perasaan
itu begitu menyiksa mu maka lupakanlah ia, hapuslah ia dalam hati mu, dan
tundukkan pandangan mu terhadapnya. Belajarlah untuk menguasai hati mu karena
itu adalah salah satu proses menuju kedewasaan. Ibu punya rahasia yang sangat
jitu untuk Lala.” Jelas ibu menasehati ku dengan lembutya hingga perlahan hati
ku pun mulai tenang kembali.
“Apa, Bu?” Tanya ku penasaran.
“Labuhkan semua perasaan Lala Kepada
Allah.” Jawab ibu dengan senyum yang menenangkan hati.
Sungguh kata-kata yang bagaikan mantra, hati ini bergetar hebat mendengar semua itu. Aku yang terlalu larut dalam perasaan ini membuat ku lupa terhadap Sang Pemilik Hati. Ya Rabb! sungguh aku sangat membutuhkan mu.
Ketika
adzan maghrib berkumandang aku bergegas mengambil air wudhu untuk bersuci
menghadap Sang Khalik. Aku melaksanakan sholat dengan penuh ke khusyukkan
menikmati tiap detik berdua-duaan dengan-Nya.
“Ya Allah yang Maha Pemurah, hanya
kepada-Mu lah tempat ku kembali. Engkaulah yang membolak-balikkan hati, Engkau-lah
yang berhak atas cinta ini. Aku mohon ya Rabbi! jika perasaan ini hanya akan
menjerumuskan ku maka hilangkanlah aku tidak ingin di kendalikan oleh hawa
nafsu ku semata, aku tidak ingin bayangan dirinya terus menerus mengusik ku.
Bantu aku wahai Dzat yang Maha Pengasih agar aku bisa mengendalikan perasaan ku
ini. Tetapi ijin kan aku untuk tetap memyimpan rasa ini di relung hati hingga
saat itu tiba, saat dimana tangan-tangan Mu menyatuka cinta suci ini. Engkaulah
yang maha mengertahui apa yang tak ku ketahui, rizki, jodoh dan maut ku
pasrahkan semau itu hanya kepada-Mu ya Zalzalali
wal Ikrom”
Hati terasa begitu tenang dan damai setelah aku mencurahkan semua kegelisah hati ini kepada Allah. Sekarang aku akan belajar mengendalikan perasaan ku dan bersikap biasa saja di hadapan kak Dimas. Aku yakin bisa melakukan itu semua.
Mentari
mulai terbit di ufuk barat, sinarnya yang begitu terang menghangatkan pagi yang
cerah ini.
“Nita aku minta maaf ya atas sikap
ku kemarin” Ucapku kepada Nita yang sedang asyik bergelut dengan komik
detective conannya.
“Haha, ngapain minta maaf sih La,
nggak ada yang salah kok” Balas Nita dengan senyum khasnya.
“Ahh, kamu memang sahabat ku yang
paling baik”
“Hehe, nggak galau lagi nih ?”
Pertanyaan konfirmasi yang benar-benar menyelidik.
“Haha, nggak dong ya, sekarang sudah
ada rahasia jitu dari ibu biar nggak galau lagi” Jawab ku penuh semangat.
“Yahh, bagi dong” Rengek Nita.
“Nanti juga
tahu sendiri, hehe” Balasku.
Semenjak
itu aku mulai mengerti bagaimana mengendalikan perasaanku. Aku mulai terbiasa
bersikap seperti anak yang lain ketika bertemu dengan Kak Dimas. Perlahan-lahan
aku mulai bisa berbincang-bincang dengannya dan tidak gugup lagi ketika
berhadapan dengannya.
Semua
itu bukan karena perasaan ini telah menghilang, tetapi aku telah mengerti
bagaimana cara mengindahkannya tanpa membuat hati ini terluka. Cinta dalam hati
ini akan tetap ku jaga untuknya sampai Tuhan benar-benar akan menyatukan kita,
aku yakin semua itu telah di gariskan oleh-Nya. Jika kita tidak disatukan di
dunia ini aku berharap kita akan di satukan di kehidupan yang lain. Kan ku
simpan diri mu di dalam hati, kan ku labuhkan cinta ini seiring dengan nama mu
yang akan selalu ku sebut di dalam doa ku, senandung rindu yang ku lantunkan
untuk diri mu.